Kembali ke
pertengahan 90-an, saat Crash karya David Cronenberg naik ke permukaan, suatu
film tentang auto-erotisme yang diadaptasi dari novel JG Ballard tahun 1973, di
mana partisipasi Crash pada Cannes Film Festival tahun itu yang dianggap
sebagai hal yang memalukan, utamanya bagi presiden juri kala itu yakni Francis
Ford Coppola, sutradara trilogy The Godfather, yang dilaporkan sangat menentang
ide memenangkan Crash dalam gelar Palme d’Or yang kemudian sebagai gantinya
Crash menerima “Special Jury Award” yang gelar itu juga diakui Coppola tidak
dapat ia cegah karena keputusannya tidak memerlukan persetujuan dari presiden
juri.
Di Inggris,
Evening Standard melabeli Crash sebagai “Beyond the bounds of depravity” atau
“Melampaui batas Kebejatan”, sementara Daily Mail menyerukan larangan untuk
film ini. Hingga akhirnya dalam seperempat abad kemudian filmmaker Prancis
yakni Julia Ducournau yang film pertamanya berhasil menarik intensi masyarakat
dunia dalam Cannes Film Festival dalam tajuk Raw, kini menghadirkan film
barunya dengan judul Titane yang dalam bahasa Indonesianya adalah Titanium. Film
yang melambungkan namanya karena tahun ini berhasil meraih Palme d’Or dengan
konsep thriller yang menyentil kemiripannya dengan film Crash.
Seperti
kebanyakan film Thriller lainnya, ada kesulitan dalam menggambarkan plot Titane
yang sesungguhnya. Layaknya The Brood karya David Cronenberg, Titane adalah
film dewasa yang dilabeli 18 tahun ke atas karena memuat adegan kekerasan,
telanjang, dan pembunuhan di mana ketiga hal itu dibalut dalam perasaan cinta,
emosi, dan sepi yang berada pada tingkatan terdalam yang digambarkan melalui
fisik karakter utama. Titane berpusat pada Alexia yang diperankan dengan begitu
cemerlang oleh Agathe Rouselle, seorang wanita muda dengan pelat titanium di
kepalanya setelah kecelakaan mobil yang ia alami saat masih kecil.
Bagai trauma, titanium di kepalanya mulai mempengaruhi bagaimana Alexia bersikap dalam pekerjaan yang kebetulan sebagai penari erotis dalam pameran mobil. Hubungan singkatnya memunculkan suatu perasaan, yang dalam frasa Prancis dikenal sebagai “la petite mort”. (video memunculkan definisi la petite mort), hubungan sesaat itu yang membuat Alexia memajukan persneling emosi dalam dirinya dan menempatkan Alexia pada posisi yang tidak pernah ia duga-duga sebelumnya.
Gejolak dalam
diri yang kemudian menimbulkan mala petaka malam itu dalam pembantaian yang
merenggut nyaris seluruh teman-temannya. Alexia harus menghilang, jadi dia
memotong rambut, mematahkan hidung, mengikat payudara dan perutnya yang
membesar dengan bayi yang ada di rahim. Tidak lupa ia membakar rumahnya, dan
mengadopsi identitas baru sebagai Adrien, seorang anak laki-laki yang
menghilang bertahun-tahun yang lalu. Klaim Alexia sebagai Adrien ini sedikit
banyaknya menarik cerita ke The Return of Martin Guerre rilisan 1982 karya
Daniel Vigne atau Changeling rilisan 2008 karya Clint Eastwood.
Adapun ayah
dari Adrien yang bekerja sebagai kepala pemadam kebakaran yakni Vincent yang
diperankan oleh Vincent Lindon menerima Alexia dengan gembira tanpa mengetahui
bahwa Adrien yang ada di pelukannya bukanlah Adrien yang ia kenal. Untuk
menggambarkan rasa gembira Vincent mungkin dialog ini bisa mewakili,
“Siapa pun
yang menyakitimu, aku akan membunuh mereka. Bahkan jika itu aku, Aku akan bunuh
diri, sumpah.”
Ducournau
menggambarkan Titane sebagai upaya untuk berbicara tentang cinta tanpa
berkata-kata, jadi tarian memainkan peran begitu penting. Dari Alexia yang
bekerja sebagai penari erotis di pameran mobil, hingga Vincent yang ingin
memenangkan hati Adrien kembali dengan menari dalam lagu riang gembira. Gerakan
dan fisik berbicara begitu banyak.
Sementara itu
dalam keterhubungan antara Alexia dan Vincent ada suatu hal simetri rapi yang
berubah, keduanya terbiasa menatap bayangan mereka sendiri saat mereka berjuang
untuk mengendalikan diri jasmani mereka. Di saat, Alexia berusaha membungkus
perut hamilnya dengan perban, Vincent melawan usia tuanya dengan suntikan agar
ia bisa tetap bugar dan kuat. Keduanya menghuni tubuh yang menolak untuk
berperilaku sebagaimana mestinya. Keduanya memiliki kebutuhan emosional yang
kuat yang tidak dapat mereka tahan.
Sangat mudah
terpesona oleh set piece mobil-seks yang menjadi berita utama dan mutasi
daging-logam gaya Tetsuo: The Iron Man pada film Titane. Namun tidak seperti
Zoe Wittock dalam Jumbo yang luar biasa, di mana Noemie Merlant yang memiliki
hubungan penuh gairah dengan suatu wahana pasar malam, Titane tentu bukan film
yang mengandung unsur “mechanophilia”. Sebaliknya, Titane adalah fabel yang
menggunakan leksikon horror dengan pembunuhan berantai, dan identitas palsu
untuk menggapai cinta sesungguhnya dalam kulit tanpa suatu syarat. Sama seperti
Raw yang menggunakan kanibalisme untuk membahas ikatan keluarga dan trauma usia
dewasa.
Beberapa akan
terpukau dan banyak lainnya akan menolak. Tetapi untuk kalian dengan selera
cinema yang tidak peduli dengan satu adegan tembak-tembakan saja, Ducournau
datang dengan hasil yang memuaskan, dibantu oleh visual ciamik dari Ruben
Impens, setiap adegan dirancang membuat nadi kita berdenyut kencang dengan
erangan layaknya jantung seluloid tiada tanding.
0 Comments: