Minggu ini gua baru beres nonton
film anime Josee, the Tiger, and the Fish yang kalau di Jepang sebenarnya rilis
akhir tahun 2020 lalu. Ketertarikan gua nonton film ini datang setelah gua liat
trailernya yang ngingetin gua ke film-filmnya Makoto Shinkai seperti Kimi no
Nawa dan Tenki no Ko yang kece abis.
Singkatnya film ini menceritakan
Tsuneo, seorang mahasiswa yang bermimpi dapat kuliah di Meksiko untuk
mewujudkan mimpinya berenang di laut Meksiko. Untuk mewujudkan mimpinya itu,
Tsuneo bekerja keras mengumpulkan uang, salah satunya kerja sambilan di toko
persediaan alat diving. tapi karena merasa kurang, Tsuneo mencari pekerjaan tambahan
dan ia ditawari pekerjaan merawat Josee, wanita yang memiliki penyakit sejak
lahir sehingga membuat kakinya lumpuh.
Quick Review aja dari gua, kalau
film ini benar-benar bagus banget dari segi visual yang ciamik dan scoring
musik yang kece abis. Ini berdasarkan preferensi gua ya karena memang gua yang
suka lagu-lagunya Eve semenjak lagunya jadi opening song anime Jujutsu Kaisen.
Animasi visualnya juga digambarkan dengan begitu indah sama studio Bones yang
namanya sudah cukup terkenal setelah anime garapannya yang banyak disukai
penggemar seperti Boku no Hero series, Fullmetal Alchemist, dan Noragami. Tapi
kayaknya anime ini tidak hanya digarap sendiri oleh Bones deh karena di deretan
kredit filmnya nunjukin juga nama beberapa studio yang juga ikut serta dalam
pengembangan film ini dan salah satunya gua familiar banget yaitu wit studio,
animator anime Attack on Titan Season 1-3.
Di segi ceritanya, anime ini
membawa kisah melodrama yang sayangnya sudah banyak diterapkan di banyak
film-film lainnya, hanya dimodif dengan poin-poin wahh saja hingga akhirnya ngebuat
penontonnya ikutan wahh. Tapi balik lagi, tidak ada yang begitu spesial dari
plot cerita film ini.
Yang justru menarik perhatian gua,
bukan hanya visual, scoring, atau plot cerita tapi dialek Kansai yang digunakan
sepanjang film ini utamanya yang diucapin Josee selama film ini bergulir.
Kalian tahu gak kalau rupanya ada 47 accent yang tersebar di seluruh Jepang
dengan 2 aksen utamanya dibedakan menjadi Kanto dan Kansai dengan dimana Kanto
berpusat di Tokyo sementara Kansai di Osaka. Karena Josee, The Tiger and the
Fish bersetting di Osaka maka tidak heran Josee menggunakan aksen Kansainya
Osaka. Jadi lebih lanjut gua bakal jelasin perbedaan antara 2 kota paling
populer di Jepang ini.
1. Perbedaan
Dialek
Salah satu perbedaan terbesar yang dapat
dengan mudah kita ketahui dari Kanto dan Kansai adalah cara penduduk setempat
berbicara bahasa Jepang. Singkatnya, gaya yang digunakan kedua wilayah tersebut
dapat digambarkan sebagai monoton untuk Kanto versus Ekspresif untuk Kansai.
Bahasa Jepang yang kalian dengar di
daerah Kanto seperti Tokyo, Chiba, atau Yokohama dapat disebut sebagai “Bahasa
Jepang Standart”. Nadanya sangat datar dan lugas, dan itulah yang biasa kalian
dengar di media seperti TV atau film. Sementara dialek Kansai hadir dengan kepribadiannya
sendiri. Nadanya begitu dinamis, yang membuat dialek kansai bisa jadi sulit
untuk dipahami bahkan oleh penduduk asli Kanto, apalagi bagi orang non-Jepang
yang baru tinggal di daerah tersebut.
Berikut beberapa perbedaan antara
bahasa Jepang Kanto vs Kansai
·
Terima kasih
-
Arigato in Standard, Okini
in Kansai
·
Keren
-
Kakkoii in Standard, Shutto
shiteru in Kansai
·
Teman
-
Tomodachi in Standard, Tsure
in Kansai
·
Permisi
-
Sumimasen in Standard, Sunmasen
in Kansai
·
Mother
-
Okasan in Standard, Okan
in Kansai
Karena sifat emosional dan
ekspresif sangat terkenal pada dialek orang-orang Kansai, hal ini dilihat oleh
orang-orang Kanto cukup kasar dan kurang pantas, sehingga mendorong beberapa
penduduk asli Kansai yang tinggal di kota-kota seperti Tokyo untuk mencoba dan
menyembunyikan aksen mereka.
Faktor itulah yang kemudian membuat
banyak orang non-Jepang merasa jauh lebih mudah memulai pembicaraan dengan
seseorang dari wilayah Kansai karena mereka lebih ramah dengan orang asing. Orang
Jepang dari daerah Kansai dikenal sangat ramai dan riuh, dengan suara keras dan
selera humor apapun. Jenis humor ini mungkin tidak begitu cocok dengan
orang-orang dari wilayah Kanto yang biasanya lebih pendiam.
Sebagian orang dari Kansai memaknai
ketenangan orang Kanto sebagai sifat dingin. Beberapa hipotesis menjelaskan
bahwa kepribadian yang kontras di Kanto khususnya di Tokyo karena budaya kerja
yang serba cepat dan selalu aktif di mana sepertinya tidak ada waktu untuk
berteman, apalagi memulai percakapan dengan orang asing.
Faktor lain yang berkontribusi
adalah bahwa Tokyo adalah kota transplantasi, dengan banyak penduduknya yang
bermigrasi dari bagian lain Jepang. Karena latar belakang dan adat yang
beragam, berpotensi menimbulkan konflik satu sama lain, sehingga orang-orang
Tokyo percaya bahwa masyarakat di kota metropolitan akan lebih damai dan aman
jika semua orang menjaga diri mereka sendiri.
Orang-orang dari wilayah Kanto dan
Kansai mungkin memiliki prasangka mereka sendiri tentang satu sama lain, dan
beberapa dari prasangka itu kemudian menimbulkan sedikit banyaknya respon
kurang baik diantara mereka. Namun, kedua gaya hidup dikotomis ini bekerja sama
untuk kemudian memberi Jepang karakter multi-segi yang buat gua makin pengen
tahu lebih banyak.
0 Comments: