Senin, 12 Juli 2021

Alur Cerita For Sama (2019)

For Sama menceritakan perjuangan pasangan suami istri yang bekerja sebagai dokter dan jurnalis dalam perang suadara yang ada di Suriah. Mereka memiliki seorang anak yang masih belia bernama Sama. Sehari-harinya mereka berjuang untuk tetap hidup dalam gempuran rudal dan serangan rezim dan oposisi.

Sebelum melangkah lebih jauh mengenai film ini, kita akan mulai dahulu dari apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Dari tahun 2011 hingga saat ini, Suriah sedang mengalami perang saudara antara pihak rezim Assaad dengan pihak anti-Assaad. Dari kacamata penduduk Suriah, Assad sudah memerintah Suriah dari kakek mereka berusia sepuluh tahun. Dalam momentum Arab Spring yakni upaya protes anti-pemerintah dalam melawan rezim, diprakarsai di Tunisia pada awal dekade 2010. Keberhasilan Tunisia meraih demokrasi nya kemudian mengundang negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama. Salah satunya Suriah, tapi pemerintah Suriah menanggapi aksi protes itu dengan kejam bahkan tak segan untuk menyiksa hingga membunuh bila diperlukan. Kericuhan yang terjadi ini yang kemudian lambat laun membuat Suriah menjadi negara yang gagal.

Mari kita mulai film ini dari 29 april 2012, dimana pada saat itu si tokoh utama dari film dokumenter ini sekaligus sutradara dan produsernya yakni Waad Al-Kateab yang adalah ibunya Sama. Kala itu ia masih menempuh pendidikan di Aleppoo University dimana para mahasiswa disana sedang melakukan protes besar-besaran di Aleppo, Suriah. Awalnya aksi protes berjalan aman-aman saja, hingga pihak tentara rezim mulai bertindak keras dengan memukuli dan menyiksa mahasiswa yang melakukan demo tanpa pandang bulu.

Waad kemudian pergi ke rumah salah satu sahabatnya yakni Hamza yang bekerja sebagai dokter. Bersama Hamza, mereka pergi ke Aleppo untuk merekam akibat tindakan represif para polisi. Pada 23 Januari 2013 di timur Aleppo, masyarakat menemukan banyak sekali mayat di sungai yang kebanyakan adalah para demonstran anti Rezim. Kondisi pelik ini kemudian membuat orang tua Waad khawatir dan ingin Waad kembali, begitupun dengan Hamza, dimana istrinya ingin Hamza segera pergi dari Aleppo tapi Waad dan Hamza menolak yang berimbas pada pernikahan Hamza.

Kemudian, kejahatan rezim kian bertambah ekstrim dimana mereka tak segan menjatuhkan bom ke Aleppo yang menimbulkan banyak korban jiwa. Karena tidak ada sekolah darurat atau layanan medis yang optimal, Hamza dan sejumlah rekannya mengubah layout suatu rumah sakit agar nyaman di tinggali oleh anak-anak. Salah satu rekannya Hamza bernama Omar seorang mahasiswa yang baru saja mendapatkan beasiswa tuk belajar arsitektur. Tapi usianya tak panjang untuk menjalankan beasiswa itu karena ia terbunuh akibat serangan tank dari rezim.

Kematian Omar lantas memberi pukulan moril bagi rekan-rekannya termasuk Hamza dan Waad. Hamza kini juga lebih tempramental terbukti saat ia sedang mengobati seseorang yang terluka dan Waad menangis saat melihat si korban, Hamza dengan tegas menyuruh Waad untuk keluar bila hanya datang untuk menangis. Menyadari kesalahannya, Hamza lalu mengejar Waad ke atap rumah sakit. Di sana, selain minta maaf, Hamza melamar Waad dan Waad menerimanya.

Hamza dan Waad menikah dengan akad nikah yang sangat sederhana. Mereka membeli rumah dan tak lama Waad hamil, ya Waad mengandung Sama. Mereka bertetangga dengan keluarga Salem dan Afraa serta tiga anak mereka yakni Wisam, Zain dan Naya. Time skip, Sama pun lahir ke dunia. Dari kelahiran Sama ini satu-satunya yang dikhawatirkan Waad adalah ia ingin mati duluan daripada Sama sehingga ia tidak jadi orang yang memakamkan Sama.

Di masa perang ini, anak-anak tetap perlu sekolah. Jadi masyarakat membangun sekolah dimana kelasnya ada di basement untuk menghindari bom. Salah satu sekolah itu di kepalai oleh Afraa. Salah satu momen luar biasa yang terekam dari film ini terjadi pada saat ada seorang wanita yang hamil tua terkena bom. Kondisinya itu memaksa dia harus segera dioperasi untuk menyelamatkan dirinya dan bayinya. Namun setelah dikeluarkan dari perut si ibu, bayi tersebut tak kunjung memberikan respon bayi pada umumnya. Para dokter disitu berusaha mati-matian untuk memberikan kehangatan pada si bayi dengan menggosok badan si bayi hingga mengompa perut si bayi dan setelah perjuangan beberapa saat, si bayi pun hidup.

Ada salah satu adegan di film dimana ada seorang anak kecil yang tewas akibat serangan roket, saudara dan sepupunya sudah menyuruh si anak itu untuk tidak di luar rumah tapi si anak membandel dan tetap di luar. Ibunya yang mengetahui anaknya telah tewas hanya bisa menggendong anaknya untuk ia makamkan sendiri, ibu itu pergi tanpa meneteskan air mata. Para dokter disitu mengetahui artinya, si ibu tak lagi bisa menangis karena air matanya telah habis.

Salah satu kejahatan perang adalah membunuh anak kecil, penduduk tak bersalah, dan rumah sakit. Tapi pihak rezim sepertinya tidak mempedulikan hal itu, terbukti pihak Rusia yang berada di pihak Rezim Assad dengan mudahnya menjatuhkan bom ke suatu rumah sakit di Aleppo dan membunuh 53 orang sekaligus. Menghancurkan rumah sakit tentu suatu hal yang tidak dapat di tolerir karena orang-orang yang menganggap mereka aman di rumah sakit sudah tidak akan memikirkan hal itu lagi.

Akibat kejadian itu, banyak orang-orang yang kemudian beralih ke pihak rezim untuk keselamatan diri mereka dan keluarga mereka. Kurun beberapa waktu kemudian, Waad kembali hamil anak kedua. Sehari-harinya saat di kamar di rumah sakit, yang bisa dilakukan Hamzah hanya mojok di kamar dan mendengar berita. Dari semua video yang sudah direkam Waad dan diupload di youtube, ada jutaan orang yang menonton dan membagikan video itu, tapi tidak ada seorang pun yang bergerak untuk menghentikan rezim.

Hingga mimpi buruk pun terjadi, rumah sakit tempat Waad dan Hamzah tinggal dijatuhi bom oleh pihak rezim. Semua orang segera keluar dari rumah sakit dan menyelamatkan diri. Di titik itu, satu-satunya hal yang dipikirkan Waad adalah kejahatan yang ia lakukan pada Sama. Waad berharap ia tidak pernah melahirkan Sama, tidak pernah bertemu Hamza, dan tidak pernah pergi kuliah ke Aleppo jika pada akhirnya semua berakhir seperti ini. Hal ini karena tidak seperti bayi pada umumnya yang sering menangis kalau mendengar ledakan, Sama tidak pernah menunjukkan wajah sedihnya seakan-akan dia paham dengan kondisinya dan mau menghibur ayah dan ibunya. Hal itulah yang membuat Waad benar-benar sedih.

Pihak PBB lalu menelepon Hamza dan memberitahukan suatu tuntutan dari pihak Rusia untuk menyerah dan nyawa mereka akan diampuni tapi sebagai gantinya mereka harus diasingkan. Hamza memberitahukan hal itu kepada semua orang, tentu ada pro dan kontra atas hal itu karena bagaimanapun Aleppo adalah tanah kelahiran mereka. Tapi demi kebaikan keluarga dan anak-anak mereka, banyak keluarga yang memutuskan menyerah dan pergi dari Aleppo. Termasuk Hamza dan Waad. Desember 2016, semua warga Aleppo berbondong-bondong pergi dari Aleppo. Sebelum pergi dari situ, Hamza memberikan laporannya yang tinggal selama 20 hari di rumah sakit, mereka telah melakukan 890 operasi, menerima 6000 orang terluka.

Saat hendak keluar perbatasan, yang menjadi kekhawatiran Waad adalah Hamzah ditangkap pihak rezim, karena bagaimanapun Hamza sudah banyak kali di liput berita dan kehadirannya tentu menjadi ancaman bagi rezim. Tapi syukur, hingga post keamanan terakhir, mereka bisa melaluinya dengan aman. Mereka pun berhasil keluar dari Aleppo.

Rasa rindu pada Aleppo tentu tidak bisa hilang begitu saja dari kepalanya Waad dan Hamza, tapi hal itu sedikit terobati setelah kelahiran anak kedua mereka yang menurut Waad memiliki aroma yang sama persis dengan Aleppo. Anak keduanya itu diberi nama Taima dan bersama semua rekaman dari kameranya Waad. Ia tidak akan pernah melupakan perjuangan para anti-rezim di Aleppo.

Previous Post
Next Post

0 Comments: