For Sama menceritakan perjuangan
pasangan suami istri yang bekerja sebagai dokter dan jurnalis dalam perang
suadara yang ada di Suriah. Mereka memiliki seorang anak yang masih belia
bernama Sama. Sehari-harinya mereka berjuang untuk tetap hidup dalam gempuran
rudal dan serangan rezim dan oposisi.
Sebelum melangkah lebih jauh
mengenai film ini, kita akan mulai dahulu dari apa yang sebenarnya terjadi di
Suriah. Dari tahun 2011 hingga saat ini, Suriah sedang mengalami perang saudara
antara pihak rezim Assaad dengan pihak anti-Assaad. Dari kacamata penduduk
Suriah, Assad sudah memerintah Suriah dari kakek mereka berusia sepuluh tahun.
Dalam momentum Arab Spring yakni upaya protes anti-pemerintah dalam melawan
rezim, diprakarsai di Tunisia pada awal dekade 2010. Keberhasilan Tunisia
meraih demokrasi nya kemudian mengundang negara-negara lain untuk melakukan hal
yang sama. Salah satunya Suriah, tapi pemerintah Suriah menanggapi aksi protes
itu dengan kejam bahkan tak segan untuk menyiksa hingga membunuh bila
diperlukan. Kericuhan yang terjadi ini yang kemudian lambat laun membuat Suriah
menjadi negara yang gagal.
Mari kita mulai film ini dari 29
april 2012, dimana pada saat itu si tokoh utama dari film dokumenter ini
sekaligus sutradara dan produsernya yakni Waad Al-Kateab yang adalah ibunya
Sama. Kala itu ia masih menempuh pendidikan di Aleppoo University dimana para
mahasiswa disana sedang melakukan protes besar-besaran di Aleppo, Suriah.
Awalnya aksi protes berjalan aman-aman saja, hingga pihak tentara rezim mulai
bertindak keras dengan memukuli dan menyiksa mahasiswa yang melakukan demo
tanpa pandang bulu.
Waad kemudian pergi ke rumah salah
satu sahabatnya yakni Hamza yang bekerja sebagai dokter. Bersama Hamza, mereka
pergi ke Aleppo untuk merekam akibat tindakan represif para polisi. Pada 23
Januari 2013 di timur Aleppo, masyarakat menemukan banyak sekali mayat di
sungai yang kebanyakan adalah para demonstran anti Rezim. Kondisi pelik ini
kemudian membuat orang tua Waad khawatir dan ingin Waad kembali, begitupun
dengan Hamza, dimana istrinya ingin Hamza segera pergi dari Aleppo tapi Waad
dan Hamza menolak yang berimbas pada pernikahan Hamza.
Kemudian, kejahatan rezim kian
bertambah ekstrim dimana mereka tak segan menjatuhkan bom ke Aleppo yang
menimbulkan banyak korban jiwa. Karena tidak ada sekolah darurat atau layanan
medis yang optimal, Hamza dan sejumlah rekannya mengubah layout suatu rumah
sakit agar nyaman di tinggali oleh anak-anak. Salah satu rekannya Hamza bernama
Omar seorang mahasiswa yang baru saja mendapatkan beasiswa tuk belajar
arsitektur. Tapi usianya tak panjang untuk menjalankan beasiswa itu karena ia
terbunuh akibat serangan tank dari rezim.
Kematian Omar lantas memberi
pukulan moril bagi rekan-rekannya termasuk Hamza dan Waad. Hamza kini juga
lebih tempramental terbukti saat ia sedang mengobati seseorang yang terluka dan
Waad menangis saat melihat si korban, Hamza dengan tegas menyuruh Waad untuk
keluar bila hanya datang untuk menangis. Menyadari kesalahannya, Hamza lalu
mengejar Waad ke atap rumah sakit. Di sana, selain minta maaf, Hamza melamar
Waad dan Waad menerimanya.
Hamza dan Waad menikah dengan akad
nikah yang sangat sederhana. Mereka membeli rumah dan tak lama Waad hamil, ya
Waad mengandung Sama. Mereka bertetangga dengan keluarga Salem dan Afraa serta
tiga anak mereka yakni Wisam, Zain dan Naya. Time skip, Sama pun lahir ke
dunia. Dari kelahiran Sama ini satu-satunya yang dikhawatirkan Waad adalah ia
ingin mati duluan daripada Sama sehingga ia tidak jadi orang yang memakamkan
Sama.
Di masa perang ini, anak-anak tetap
perlu sekolah. Jadi masyarakat membangun sekolah dimana kelasnya ada di
basement untuk menghindari bom. Salah satu sekolah itu di kepalai oleh Afraa.
Salah satu momen luar biasa yang terekam dari film ini terjadi pada saat ada
seorang wanita yang hamil tua terkena bom. Kondisinya itu memaksa dia harus
segera dioperasi untuk menyelamatkan dirinya dan bayinya. Namun setelah
dikeluarkan dari perut si ibu, bayi tersebut tak kunjung memberikan respon bayi
pada umumnya. Para dokter disitu berusaha mati-matian untuk memberikan kehangatan
pada si bayi dengan menggosok badan si bayi hingga mengompa perut si bayi dan
setelah perjuangan beberapa saat, si bayi pun hidup.
Ada salah satu adegan di film
dimana ada seorang anak kecil yang tewas akibat serangan roket, saudara dan
sepupunya sudah menyuruh si anak itu untuk tidak di luar rumah tapi si anak
membandel dan tetap di luar. Ibunya yang mengetahui anaknya telah tewas hanya
bisa menggendong anaknya untuk ia makamkan sendiri, ibu itu pergi tanpa
meneteskan air mata. Para dokter disitu mengetahui artinya, si ibu tak lagi
bisa menangis karena air matanya telah habis.
Salah satu kejahatan perang adalah
membunuh anak kecil, penduduk tak bersalah, dan rumah sakit. Tapi pihak rezim
sepertinya tidak mempedulikan hal itu, terbukti pihak Rusia yang berada di
pihak Rezim Assad dengan mudahnya menjatuhkan bom ke suatu rumah sakit di
Aleppo dan membunuh 53 orang sekaligus. Menghancurkan rumah sakit tentu suatu
hal yang tidak dapat di tolerir karena orang-orang yang menganggap mereka aman
di rumah sakit sudah tidak akan memikirkan hal itu lagi.
Akibat kejadian itu, banyak
orang-orang yang kemudian beralih ke pihak rezim untuk keselamatan diri mereka
dan keluarga mereka. Kurun beberapa waktu kemudian, Waad kembali hamil anak
kedua. Sehari-harinya saat di kamar di rumah sakit, yang bisa dilakukan Hamzah
hanya mojok di kamar dan mendengar berita. Dari semua video yang sudah direkam Waad
dan diupload di youtube, ada jutaan orang yang menonton dan membagikan video
itu, tapi tidak ada seorang pun yang bergerak untuk menghentikan rezim.
Hingga mimpi buruk pun terjadi,
rumah sakit tempat Waad dan Hamzah tinggal dijatuhi bom oleh pihak rezim. Semua
orang segera keluar dari rumah sakit dan menyelamatkan diri. Di titik itu,
satu-satunya hal yang dipikirkan Waad adalah kejahatan yang ia lakukan pada
Sama. Waad berharap ia tidak pernah melahirkan Sama, tidak pernah bertemu
Hamza, dan tidak pernah pergi kuliah ke Aleppo jika pada akhirnya semua
berakhir seperti ini. Hal ini karena tidak seperti bayi pada umumnya yang
sering menangis kalau mendengar ledakan, Sama tidak pernah menunjukkan wajah
sedihnya seakan-akan dia paham dengan kondisinya dan mau menghibur ayah dan
ibunya. Hal itulah yang membuat Waad benar-benar sedih.
Pihak PBB lalu menelepon Hamza dan
memberitahukan suatu tuntutan dari pihak Rusia untuk menyerah dan nyawa mereka
akan diampuni tapi sebagai gantinya mereka harus diasingkan. Hamza
memberitahukan hal itu kepada semua orang, tentu ada pro dan kontra atas hal
itu karena bagaimanapun Aleppo adalah tanah kelahiran mereka. Tapi demi
kebaikan keluarga dan anak-anak mereka, banyak keluarga yang memutuskan
menyerah dan pergi dari Aleppo. Termasuk Hamza dan Waad. Desember 2016, semua
warga Aleppo berbondong-bondong pergi dari Aleppo. Sebelum pergi dari situ,
Hamza memberikan laporannya yang tinggal selama 20 hari di rumah sakit, mereka
telah melakukan 890 operasi, menerima 6000 orang terluka.
Saat hendak keluar perbatasan, yang
menjadi kekhawatiran Waad adalah Hamzah ditangkap pihak rezim, karena
bagaimanapun Hamza sudah banyak kali di liput berita dan kehadirannya tentu
menjadi ancaman bagi rezim. Tapi syukur, hingga post keamanan terakhir, mereka
bisa melaluinya dengan aman. Mereka pun berhasil keluar dari Aleppo.
Rasa rindu pada Aleppo tentu tidak
bisa hilang begitu saja dari kepalanya Waad dan Hamza, tapi hal itu sedikit
terobati setelah kelahiran anak kedua mereka yang menurut Waad memiliki aroma
yang sama persis dengan Aleppo. Anak keduanya itu diberi nama Taima dan bersama
semua rekaman dari kameranya Waad. Ia tidak akan pernah melupakan perjuangan
para anti-rezim di Aleppo.
0 Comments: